Letaknya paling Timur Laut Gugusan Kepulauan Nusantara, tak terlihat dalam peta wawasan Nusantara, namun keberadaannya harus tetap terjaga, karena menyangkut harga diri bangsa. Itulah Pulau Brass; pulau yang termasuk ke dalam gugusan kepulauan Mapia. Pulau Pulau Mapia terdiri dari empat pulau yaitu Pulau Brass, Pulau Fanildo, Pulau Pegun dan Pulau Faniroto. Dari keempat pulau tersebut, hanya Pulau Brass yang berpenduduk. Di Pulau ini terdapat 40 Kepala Keluarga atau 133 jiwa dan satu pleton Satuan Tugas Pengamanan Pulau Terluar (SATGASPAM) Marinir TNI AL atau sama dengan kekuatan 21 personel.
Para tentara ini berjaga di pulau Brass sebagai langkah untuk mempertahankan kedaulatan dan supremasi bangsa kita. Para anggota baret hijau ini bertugas mengamati dan menjaga keamanan di wilayah terluar dari wilayah kekuasaan ibu pertiwi.
Pulau Brass masuk kedalam wilayah administrasi Kabupaten Supiori. Kabupaten Supiori terdiri dari 5 distrik yaitu Distrik Supiori Timur, Supiori Utara, Supiori Barat, Supiori Selatan dan Kepulauan Aruri. Ke‐lima distrik tersebut terbagai menjadi 38 desa. Ibukota kabupaten ini terletak di desa Sorendidori Distrik Supiori Timur. Pulau Cantik ini berbatasan langsung dengan wilayah perairan Republik Palau (AS); dan Negara tersebut mengakui pula bahwa kepulauan Mapia ini merupakan wilayah kedaulatan mereka. Dengan adanya pengakuan dari negara lain, wilayah ini rawan konflik perebutan wilayah. Kejadian pulau Sipadan dan Ligitan cukuplah menjadi satu contoh untuk bangsa kita agar lebih mawas diri dan menjaga seluruh bagian wilayah kedaulatannya.
Wilayahnya sungguh terpencil, oleh karena itu penduduk Pulau Brass sangat jarang berinteraksi dengan penduduk lain. Hal ini terjadi karena pulau ini jauh dari pulau utama, yaitu pulau Biak. Pelayaran dari Biak berjarak 160 mil laut dan dicapai dengan waktu 17 jam. Terisolasinya pulau ini perlu kita perhatikan agar penduduk ini tetap bisa bertahan dan lestari. Namun hal yang utama adalah tetap bercokolnya rasa patriotisme di dalam dada penduduk pulau Brass, mengingat merekapun diakui sebagai warga kepulaun Palau.
Di Pulau Brass, abrasi adalah ancaman terbesar pulau ini karena hantaman gelombang Samudera Pasifik. Bahkan pulau ini telah terbagi menjadi dua pulau akibat abrasi. Pulau Brass pecah di bagian utara dan terbagi menjadi dua pulau. Sekarang penduduk menamakan pulau tersebut menjadi Pulau Batu. Oleh karena itu, harus ada upaya preventif yang dilakukan, terlebih melihat kondisi pulaunya yang landai. Jika terjadi tsunami, maka pulau dipastikan tersapu bersih.
Namun, adapula ancaman yang akan terus mengahantui penduduk pulau ini, yaitu kekurangan pengetahuan tentang dunia luar, dan yang paling menghawatirkan adalah anak-anak dan remaja pulau ini yang tidak mengetahui keelokan pulaunya dan bangsanya. Pasalnya, Jika hal ini dibiarkan saja, maka mereka tidak akan pernah mengenyam hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia, terutama hak mendapat pendidikan; dan yang lebih mengenaskan adalah mereka akan seperti katak dalam tempurung.
Penduduk Pulau Brass berasal dari Biak. Awalnya mereka mendiami Pulau Pegun. Namun karena wabah lalat yang menjangkiti pulau itu, akhirnya penduduk pindah ke Pulau Brass. Diare dan muntaber penyakit yang ditimbulkan wabah tersebut. Kejadian ini tidak boleh terulang lagi, oleh karena itu perlu sosialisasi pada penduduk pulau Brass mengenai kebersihan dan sanitasi agar kehidupan mereka lebih sehat.
Penduduk Pulau Brass bermata pencaharian sebagai petani kopra dan nelayan. Kopra tersebut dijual ke pembeli dari Pulau Buton. Dalam satu bulan mereka datang satu kali untuk mengangkut kopra dari penduduk. Harga jual satu kilogram kopra sangat murah, hanya Rp 500 per Kilogram. Jika dijual ke Biak, harga cukup tinggi, Rp 1500 per Kilogram. Namun transportasi menjadi kendala lain. Morfologi Pulau Brass berupa karang yang berbentuk setengah lingkaran. Terdapat celah masuk berupa laguna di barat. Arus bawah laut di sekitar pulau ini cukup kencang. Pada saat surut, perahu nelayan tak bisa mendarat. Kapal Perintis yang melayani pelayaran tak bisa sandar karena dermaga rusak. Selain itu, kondisi perairannya dalam dan bertubir.
Sebenarnya pantai-pantai di kepulauan Mapia ini bisa dimanfaatkan juga menjadi tempat pariwisata. Karena Pemerintah Kabupaten Supiori, Papua, telah menetapkan wilayah perairan laut di Pulau Mapia sebagai kawasan wisata bahari untuk menarik wisatawan domestik dan mancanegara guna meningkatkan devisa negara ,pendapatan asli daerah dan terutama untuk kesejahteraan penduduk setempat
Cerita keterasingan pulau ini bisa terlihat dari kisah bapak marinir ini. Suatu hari marinir penjaga pulau Brass, terkena Malaria. Evakuasi menjadi kendala atas kedatangan kapal yg 20 hari sekali sedangkan helikopter tidak ada sedangkan masa inkubasi malaria 12 hari, untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk dan tim menyiapkan perahu karet untuk evakuasi walaupun itu sangat beresiko karena jarak terdekat dengan daratan ya sekitar 210 km itu. Untungnya setelah melakukan perawatan sendiri dengan menghabiskan 20 botol cairan infus, prajurit marinir tersebut dapat melewati masa kritisnya.
Itulah sedikit gambaran tentang terpencilnya bagian tubuh bangsa kita. Berbeda sekali dengan gemerlapannya pulau Jawa, terutama Jakarta. Saudara kita sungguh damai dengan kesendirian dan keterasingannya. Pulua Brass, Jangan Takut Dengan Keterasingan. Karena kau tetap menjadi bagian hiruk pikuknya bangsa ini. Tanpa keterasinganmu, kami yang disini tak akan pernah mengerti indahnya sepi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar