Untuk kawan-kawanku dalam sergapan 10 Mei,
Saat diriku pergi jauh meninggalkan kampung untuk menemukan kata moderat dan majemuk, kampungku sendiri ternyata menjadi lembah para picik keparat akibat melarat dan jadi mangsa empuk yang gemuk. Aku sedikit banyak tahu siapa mereka, mereka pembenci “barat”, karena belum terentas dari garis yang digurat oleh beberapa aparat dari mulai camat hingga wakil rakyat di daerah dan pusat yang tugasnya mengulur-ulur kata mufakat.
Pengajian bukan untuk mengaji dan mengkaji ayat-ayat suci, melainkan menjadi ajang pemberangusan hak asasi dan pembunuhan keji yang hanya pantas dilakukan oleh para banci.
Ketika mereka disebut teroris, hatiku teriris dan ingin menangis. Semua ini terjadi karena mereka memiliki kesempatan secuil untuk melihat bahwa dunia ini manis.
Disatu sisi kampungku telah berlabel standar international, disisi lain kawan-kawanku dicap musuh nasional, sebab bangsanya telah latah ikut punya fobia internasional.Kawanku tak butuh label internasional; kawanku hanya ingin keahlian mereka yang telah go internasional kembali datang walau hanya muncul diatas bantal.
Saat gulungan akar hutan, gulma, dan bambu berubah menjadi “banda” untuk membakar tungku para ibu-ibu,saat itulah kawan-kawanku hanya memikirkan kapan datangnya hari Sabtu yang membikin indahnya hari Minggu. Dalam menunggu hari Sabtu mereka asik memainkan gunting dan palu untuk menyulap “pitrit” menjadi meja dan bangku. Alunan musik dangdut yang merdu mereka dengarkan sambil lalu karena tangan gesit mereka dikejar waktu untuk meraih beberapa lembaran kertas berwarna biru. Namun madu ini tak bertahan lebih dari sewindu. Bencana yang tak dimau datang saat salah seorang pembantu membuka pintu.
Pintu telah terbuka,kampungku tinggal menunggu meregang nyawa. Kawan-kawanku tak tahu harus bagaimana. Kini mereka tak lagi punya tempat penyambung nyawa, ekspresi dan canda tawa. Alunan musik dari radiopun ikut tak tertawa, karena sang radio tak lagi mendengarkan salah lirik dari kawan-kawanku yang ikut asik berdendang dari siaran radio gelap yang penyiarnya berbicara dengan bahasa aneh namun bahasa jenis ini yang dianggap oleh kita sebagai bahasa kaum cendekia.
Kawan-kawanku kini menjadi musuh negeri, orang-orangpun merasa ngeri. Mereka sebenarnya ingin menyalurkan ekspresi dan bisa menghabiskan hari demi hari. Tak dinyana, lalu mereka bertemu saudara seiman yang sebenarnya tak beriman yang “dianggap” lebih berilmu dan lebih mapan.
Kawan-kawanku kini menjadi bersahabat dengan ledakan dan duri. Duri bagi negeri dan duri bagi diri sendiri. Nasib tak bersalah, kawan-kawanku kini divonis bersalah oleh orang-orang yang sebenarnya telah kalah tapi tak mau mengalah.
Kawan, aku tidak mendukungmu dan juga memusuhimu. Kita dari pondok yang sama, Pondok Pari alias Kenanga. Hanya satu yang menjadi beda, jalan yang diambil oleh kita. Namun kita tetap satu sebagai saudara yang mengenal kata Kirik dan Cemera.
Minggu, 18 Desember 2011
Doa
Sebenarnya saya pernah membaca dan mendengar mengenai doa entah dari tulisan dan ceramah siapa,saya lupa tepatnya. Namun baru kemarin saya mulai terbuka kembali mata ini mengenai makna dari doa setelah mendengar siraman rohani dari Pak Jaya Suprana bos Jamu Jago dalam karyanya Kelirumologi.
Saya tak ambil pusing dari siapa Pak Jaya dapat ilham mengenai tulisan doa ini, tetapi setelah direnungkan memang benar adanya.
Kita semua yang mempercayai adanya Tuhan, yakin bahwa Tuhan adalah yang Maha Tahu. karena kemahatahuanNya ini tentu Tuhan lebih mengetahui daripada kita tentang apa saja yang benar-benar kita butuhkan. Tuhan pasti akan memberikan yang terbaik untuk kita. Oleh karena itu setiap kali saya berdoa, saya usahakan tidak meminta pada Tuhan, melainkan saya hanya mengucap Syukur atas anugerah yang telah dikaruniakan pada saya; selain itu buat apa diminta, bukankah dari kita semua telah diberi jatah rizki (baik rezeki yang enak dan yang tidak enak ) dari Tuhan Yang Maha Tahu? apakah doa saya ini keliru (memlagiat kata-kata Pak Jaya) ?
Ternyata Pak Jaya tidak hanya Jago mengobati jasmani lewat Jagonya tetapi juga jago menyirami rohani dan menerangi pikiran.
Saya tak ambil pusing dari siapa Pak Jaya dapat ilham mengenai tulisan doa ini, tetapi setelah direnungkan memang benar adanya.
Kita semua yang mempercayai adanya Tuhan, yakin bahwa Tuhan adalah yang Maha Tahu. karena kemahatahuanNya ini tentu Tuhan lebih mengetahui daripada kita tentang apa saja yang benar-benar kita butuhkan. Tuhan pasti akan memberikan yang terbaik untuk kita. Oleh karena itu setiap kali saya berdoa, saya usahakan tidak meminta pada Tuhan, melainkan saya hanya mengucap Syukur atas anugerah yang telah dikaruniakan pada saya; selain itu buat apa diminta, bukankah dari kita semua telah diberi jatah rizki (baik rezeki yang enak dan yang tidak enak ) dari Tuhan Yang Maha Tahu? apakah doa saya ini keliru (memlagiat kata-kata Pak Jaya) ?
Ternyata Pak Jaya tidak hanya Jago mengobati jasmani lewat Jagonya tetapi juga jago menyirami rohani dan menerangi pikiran.
Langganan:
Postingan (Atom)